Sekolah Desa: Gagasan Lama yang Membuka Jalan Pendidikan Rakyat di Jawa. Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1906, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai bergulat dengan sebuah pertanyaan besar: bagaimana memberikan pendidikan bagi jutaan rakyat Bumiputera di Jawa dan Madura yang kala itu hampir tak tersentuh sekolah?
Pertanyaan itu mengemuka lewat sebuah surat penting dari Pj. Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan serta Pl. Direktur Pemerintahan Dalam Negeri (D.F.W. van Rees) kepada Gubernur Jenderal van Heutz. Surat bertanggal 20 Maret 1906 itu menyingkap sebuah babak awal dari perjalanan panjang pendidikan rakyat di Nusantara.
Sedikit Sekolah, Banyak Penduduk
Pada masa itu, jumlah sekolah untuk penduduk pribumi sangatlah kecil, jauh dari cukup untuk menampung besarnya jumlah jiwa. Pendidikan hanya dinikmati sebagian kecil rakyat, itupun biasanya berasal dari kalangan tertentu.
Gubernur Jenderal melihat kondisi ini berbahaya. Zaman sedang berubah, kebutuhan pendidikan makin mendesak, namun keuangan negara dianggap tak mampu menanggung biaya pendidikan rakyat dalam skala besar.
Muncul dua gagasan penting:
Meniru sekolah desa di Belanda zaman dulu – sekolah sederhana, murah, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dengan biaya sebagian besar ditanggung oleh desa itu sendiri.
Lumbung Desa Jadi Harapan
Di tengah kebuntuan biaya, ada secercah harapan. Lumbung desa (lembaga perkreditan padi) yang saat itu berkembang pesat di Jawa, dipandang bisa menjadi penopang keuangan sekolah desa. Artinya, pendidikan rakyat tidak sepenuhnya bergantung pada kas negara, tetapi bisa lahir dari kekuatan ekonomi desa sendiri.
Dari Gagasan ke Percobaan
Hasil pembicaraan antara pejabat pendidikan, pemerintahan, dan inspektur perkreditan akhirnya sampai pada kesepakatan:
Pemerintah harus tetap menanggung sebagian, terutama biaya alat belajar.
Sebelum dibangun besar-besaran, perlu percobaan di beberapa daerah dengan pengawasan ketat.
Sejumlah residen di Jawa, seperti Kediri, Kebumen, dan Cirebon, bahkan siap menjalankan percobaan ini dengan memanfaatkan dana lumbung desa dan bengkok desa (tanah jabatan).
Guru Desa
Satu hal yang sangat ditekankan adalah soal guru. Sekolah desa tidak akan berjalan tanpa guru yang baik. Namun, muncul perdebatan:
Apakah guru bisa diisi oleh kyai desa? Pemerintah menolak, khawatir terjadi penyalahgunaan atau konflik kepentingan.
Apakah bisa digabung dengan jabatan carik (juru tulis desa)? Juga tidak, sebab carik sering harus menghadiri rapat-rapat desa di luar.
Akhirnya disimpulkan: guru desa harus fokus pada tugasnya. Idealnya, guru berasal dari rakyat desa sendiri, sederhana kehidupannya, namun berakhlak baik, punya bakat mengajar, dan cukup pengetahuan setara lulusan sekolah dasar tingkat dua.
Pelajaran yang Sederhana tapi Bermakna
Kurikulum sekolah desa dibuat sangat sederhana. Hanya mencakup:
Tujuannya bukan mencetak cendekiawan, melainkan membekali rakyat dengan pengetahuan praktis yang bisa langsung dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Buku-buku bacaan ringan tentang kehidupan sehari-hari disebarkan secara luas untuk menumbuhkan minat baca. Dengan begitu, pendidikan desa diharapkan tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga membangun karakter dan kesadaran masyarakat.
Harapan yang Tertulis dalam Sejarah
Meski pada awalnya hanya percobaan, gagasan sekolah desa ini menandai tonggak penting dalam sejarah pendidikan rakyat di Indonesia. Ia memperlihatkan bahwa kesadaran akan perlunya pendidikan massal untuk rakyat sudah muncul sejak era kolonial.
Sekolah desa mungkin sederhana, guru-gurunya pun hanya dituntut menguasai pelajaran dasar. Namun dari sinilah lahir harapan besar: bahwa anak-anak desa Bumiputera berhak mendapat pendidikan, meski sederhana, untuk memperbaiki masa depan mereka.
Daftar pustaka : https://repositori.kemendikdasmen.go.id/
Penulis : Infokom PGRI Cab Kaligondang